Pendidikan
dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu
kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang
harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki
pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras
dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari
setiap masa ke masa berikutnya.
Saat ini
Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh
berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi
karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan definisi ini maka terdapat
beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik
setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial.
Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan
berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya
tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32
UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang
Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru
dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai
rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP,
RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah,
dsb). Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar
(Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di
Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas
dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Problematika
pendidikan dibagi 3 (tiga) yaitu kualifikasi guru, kesejahteraan guru, dan
biaya atau pendaan.
1. Kualifikasi Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu
atau menduduki jabatan tertentu. Jadi kualifikasi mendorong sesorang memiliki
suatu keahlian atau kecakapan khusus.
Untuk melihat kualifikasi professional
guru dalam kesatuan paket yakni pendidik, pengajar dan pelatih sebagai suatu
kesatuan operasional tidak dapat terpecah-pecah. Kualifikasi guru dapat
dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan, bahkan kualifikasi
terkadang dapat dilihat dari segi derajat lulusannya.
Menurut Anwar Jasin, untuk mengukur
kemampuan kualifikasi guru dapat dilihat dari 3 hal:
1.
Memiliki kemampuan dasar
sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari diri pendidik ataupun persyaratan yang harus dimiliki oleh
jiwa pendidik antara lain:
a)
Beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
b)
Berwawasan ideologi
Pancasila dan UUD 1945.
c)
Berkepribadian dewasa.
d)
Mandiri dalam mengambil
keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
e)
Penuh rasa tanggung jawab
sebagai pendidik.
f)
Berwibawa, mempunyai
kelebihan terhadap para siswanya terutama dalam penguasaan materi.
g)
Disiplin.
h)
Berdedikasi.
2.
Memiliki kemampuan umum
sehingga pengajar selain sebagai pengajar, seorang guru, memiliki kemampuan
dasar mendidik, juga harus memiliki kemampuan sebagai prasyarat untuk mrncapai
kemampuan khusus dalam rangka memperoleh kualifikasi dan kewenangan mengajar.
3.
Mempunyai kemampuan khusus
sebagai pelatih, kemampuan khusus ini bertujuan untuk melatih para siswanya
agar terampil menguasia materi pelajaran.
Dengan demikian, modal kualifikasi
kependidikan yang ditawarkan di atas, diharapkan bisa meringankan tugas guru
dalam menghadapi masa depan dapat beriman secara tepat dan cermat. Sebab jika
tingkat komprtitif guru yang dihadapi dengan kualifikasi pendidikn, maka
eksistansi guru akan tetap survive dengan sendirinya. Bahkan prospek masa
depannya juga akan semakin baik serta banyak yang akan memburuhkan dan
mencarinya.
2. Kesejahteraan Guru
Sudah bukan rahasia umum lagi, jika
sebagian dari kalangan pendidik hidup secara pas-pasan. Utamanya guru yang
berstatus honores atau guru swasta. Tidak mengherankan jika banyak guru yang
mencoba menekuni profesi sampingan. Sejumlah tenaga pendidik utamanya yang
tinggal di daerah mencoba melakoni pekerjaan sampingan di luar tugas mengajar.
Di Bandar Lampung, seorang guru nyambi sebagai tukang
becak karena gaji yang diterima Rp 126.000 per bulan tidak cukup untuk
membiayai kebutuhan keluarganya (Kompas, 9 Mei 2006). Di sisi lain,
guru dituntut untuk tampil ideal dengan bekerja secara
profesional sekaligus menjadi ujung tombak perubahan seiring
tuntutan dunia pendidikan yang berjalan sangat cepat. Akibatnya, guru
seringkali menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam pengelolaan pendidikan.
Kurang profesional dan tidak kompeten merupakan contoh tudingan yang sering
kali dialamatkan kepada guru.
Mohamad Surya (2002), Ketua PGRI mengakui imbalan
jasa yang diterima oleh guru baik yang bersifat materi maupun nonmateri masih
jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru. Meskipun sesungguhnya martabat dan
harga diri guru tidak diukur dari aspek materi dan simbol-simbol
lahiriah. Sedangkan Andreas Harefa menilai bahwa pemberian
kesejahteraan yang tidak manuasiwi bagi guru merupakan tindakan penghinaan yang
pada akhirnya akan mengkerdilkan jiwa kalangan pendidik.
Beberapa ekses negatif dapat ditimbulkan dari keterabaian nasib guru.
Pertama, dapat berpengaruh terhadap mental
dan kinerja guru. Rendahnya kesejahteraan dapat menimbulkan mental
asal kerja. Kegiatan mengajar hanya menjadi rutinitas belaka. Perhatian guru
akan tersita pada upaya menutupi permasalahan ekonomi di luar profesi guru. Akibatnya,
guru tidak dapat melaksanakan tugas profesionalnya
dengan maksimal.
Kedua, dapat
menimbulkan image negatif bagi profesi guru. Jika guru
tidak memiliki jaminan kesejahteraan, maka profesi guru bisa jadi akan
ditinggalkan. Keenggenan untuk menekuni profesi guru sudah mulai tampak saat
ini. Animo masyarakat (baca: generasi muda) untuk menekuni jenjang pendidikan
keguruan terlihat sangat kurang. Sebaliknya, peminat jalur pendidikan
non-keguruan justru membludak. Salah satu alasan lulusan sekolah menengah tidak
memilih jalur pendidikan keguruan ádalah kurangnya jaminan masa
depan. Hasil penelitian Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa salah
penyebab rendahnya penguasaan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkannya
disebabkan mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut
tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya (Soedijarto, 2002). Padahal,
James B. Conant merekomendasikan agar mereka yang menjadi guru harus termasuk
dalam 20% teratas lulusan sekolah menengah. Profesi guru membutuhkan
orang-orang terbaik secara intelektual dan moral. Sosok guru yang ideal dalam
pandangan Mohamad Surya (2002) adalah memiliki semangat juang yang tinggi,
mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dengan tuntutan dan perkembangan
iptek, mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain, memiliki etos kerja
yang kuat, memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan karier, berjiwa
profesional tinggi, sejahtera lahir dan batin, berwawasan masa depan, dan mampu
melaksanakan perannya secara terpadu. Perbaikan nasib guru bukan merupakan
tanggung jawab kaum guru semata. Peranan masyarakat dan pemerintah sangat besar
untuk membangun citra profesi guru yang dibanggakan.
faktor yang dapat menentukan martabat profesi guru. Pertama,
kerja keras guru untuk memberikan nilai yang pantas bagi profesi guru.
Profesionalisme dan tanggung jawab yang tinggi yang dilakukan oleh guru akan
mengundang simpati masyarakat untuk memberikan apresiasi dan nilai terhadap
profesi guru. Citra profesi yang baik diharapkan kelak membawa implikasi bagi kesejahteraan
guru. Kedua, komitmen pemerintah. Peningkatan kesejahteraan
guru sangat tergantung dari komitmen pemerintah sebagai pihak yang menggaji
guru. Kita menyadari bahwa kondisi negara kita saat ini tidak memungkinkan
untuk memberikan gaji tinggi bagi semua pegawai. Meskipun demikian, kita bisa
melihat bahwa ada banyak proyek yang sebetulnya tidak menyentuh kebutuhan
masyarakat, ada banyak pengeluaran negara yang tidak efisien yang
hanya menghambur-hamburkan uang negara, dan ada banyak kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat. Kalau eksekutif dan legislatif di daerah dan
di pusat memperoleh gaji besar, mengapa guru yang tinggal di daerah terpencil
tidak bisa memenuhi kebutuhannya dari gaji yang diperoleh? Bukankah antara
mereka sama-sama melakukan pengabdian untuk bangsa. Guru tidak
menuntut mobil dinas mewah seperti para elit pemerintahan tetapi hanya berharap
biaya transportasi ke sekolah bisa terpenuhi. Ketiga, memperkuat
posisi tawar organisasi profesi guru. Organisasi profesi guru harus memosisikan
diri sebagai wadah perjuangan guru. Tanggap dalam menjemput aspirasi dan
memperjuangkan kepentingan guru. Payung hukum tentang hal ini pun sudah sangat
jelas dalam pasal 41 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3. Biaya atau Pendanaan
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga
saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9
Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen.
Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan
hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan
sebesar 20 persen. Formulasi
anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU
20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak
termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara
bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality
adalah tidak dibenarkan. hal ini dapat dilihat pada putusan MK No
011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No.
026/PUU-III/2005.
Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah
konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK
dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006
tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD
1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi
kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah
Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007
melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20%
berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga
menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini.
Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker
yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet
Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri
Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan
anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12%
(2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1%
(2009).
Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran
pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan
meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran
untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya
mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total
nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1.
PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan,
tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran
pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari
APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk
memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari
Fraksi PDI Perjuangan Dating Site berpendapat anggaran pendidikan yang
kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk
menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab,
lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor
lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri.
Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari
tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan
hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri.
Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati
sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874
triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di
Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa
per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di
pendidikan dasar (SD, red) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun
sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. (mls)
”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah
ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik
anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa
dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian,
menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan
ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.
ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI IDONESIA
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain unruk
menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004
lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan, lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20
Tahun 2003 tentang sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10
prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan
prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas
tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan.
Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara
satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang
disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan
keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk
menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan
prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson,
dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan
hukum yang legal menjadi BHP.
1.
Pertama , BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus
sebanyak-banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
2.
Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri
sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan
menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan,
mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan
untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan
semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa
nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena
tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan
tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa
depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan
industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan
didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
RUU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar
bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin
punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi?
Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon
mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih
diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang
secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan
hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini,
Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur
dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan
Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa
tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan
50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan
Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah
jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari
jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada
pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari
komersialisasi pendidikan.
3.
EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap
tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen. Sebenarnya sudah pernah dilontarkan
oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun
silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya.
30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan
jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa
pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit
lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari
seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%.
Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti
efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga
pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek
infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara
harga pasar dan anggaran yang diajukan.
MENUMBUHKAN
JIWA DAN KOMPETENSI
KEWIRAUSAHAAN
MELALUI PENDIDIKAN NON FORMAL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliyah : Kewirausahaan
Dosen Pengampu : Drs Nur Hadi.M.M.
Oleh :
Sugiyono
076050740
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PAI
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar