Senin, 09 Januari 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Problematika pendidikan dibagi 3 (tiga) yaitu kualifikasi guru, kesejahteraan guru, dan biaya atau pendaan.
1. Kualifikasi Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu atau menduduki jabatan tertentu. Jadi kualifikasi mendorong sesorang memiliki suatu keahlian atau kecakapan khusus.
Untuk melihat kualifikasi professional guru dalam kesatuan paket yakni pendidik, pengajar dan pelatih sebagai suatu kesatuan operasional tidak dapat terpecah-pecah. Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan, bahkan kualifikasi terkadang dapat dilihat dari segi derajat lulusannya.
Menurut Anwar Jasin, untuk mengukur kemampuan kualifikasi guru dapat dilihat dari 3 hal:
1.      Memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari diri pendidik  ataupun persyaratan yang harus dimiliki oleh jiwa pendidik antara lain:
a)      Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)      Berwawasan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
c)      Berkepribadian dewasa.
d)     Mandiri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
e)      Penuh rasa tanggung jawab sebagai pendidik.
f)       Berwibawa, mempunyai kelebihan terhadap para siswanya terutama dalam penguasaan materi.
g)      Disiplin.
h)      Berdedikasi.
2.      Memiliki kemampuan umum sehingga pengajar selain sebagai pengajar, seorang guru, memiliki kemampuan dasar mendidik, juga harus memiliki kemampuan sebagai prasyarat untuk mrncapai kemampuan khusus dalam rangka memperoleh kualifikasi dan kewenangan mengajar.
3.      Mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih, kemampuan khusus ini bertujuan untuk melatih para siswanya agar terampil menguasia materi pelajaran.

Dengan demikian, modal kualifikasi kependidikan yang ditawarkan di atas, diharapkan bisa meringankan tugas guru dalam menghadapi masa depan dapat beriman secara tepat dan cermat. Sebab jika tingkat komprtitif guru yang dihadapi dengan kualifikasi pendidikn, maka eksistansi guru akan tetap survive dengan sendirinya. Bahkan prospek masa depannya juga akan semakin baik serta banyak yang akan memburuhkan dan mencarinya.

2. Kesejahteraan Guru
Sudah bukan rahasia umum lagi, jika sebagian dari kalangan pendidik hidup secara pas-pasan. Utamanya guru yang berstatus honores atau guru swasta. Tidak mengherankan jika banyak guru yang mencoba menekuni profesi sampingan. Sejumlah tenaga pendidik utamanya yang tinggal di daerah mencoba melakoni pekerjaan sampingan di luar tugas mengajar. Di Bandar Lampung, seorang guru  nyambi sebagai tukang becak karena gaji yang diterima Rp 126.000 per bulan tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya (Kompas, 9 Mei 2006).  Di sisi lain, guru dituntut untuk tampil ideal dengan bekerja secara profesional  sekaligus menjadi ujung tombak perubahan seiring tuntutan dunia pendidikan yang berjalan sangat cepat. Akibatnya, guru seringkali menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam pengelolaan pendidikan. Kurang profesional dan tidak kompeten merupakan contoh tudingan yang sering kali dialamatkan kepada guru.
Mohamad Surya (2002), Ketua PGRI mengakui imbalan jasa yang diterima oleh guru baik yang bersifat materi maupun nonmateri masih jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru. Meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek materi dan simbol-simbol lahiriah. Sedangkan Andreas Harefa menilai bahwa pemberian kesejahteraan yang tidak manuasiwi bagi guru merupakan tindakan penghinaan yang pada akhirnya akan mengkerdilkan jiwa kalangan pendidik.
Beberapa ekses negatif dapat ditimbulkan dari keterabaian nasib guru. Pertama, dapat berpengaruh terhadap mental dan kinerja guru.  Rendahnya kesejahteraan dapat menimbulkan mental asal kerja. Kegiatan mengajar hanya menjadi rutinitas belaka. Perhatian guru akan tersita pada upaya menutupi permasalahan ekonomi di luar profesi guru. Akibatnya, guru tidak dapat melaksanakan tugas  profesionalnya dengan maksimal.
 Kedua, dapat menimbulkan  image negatif bagi profesi guru. Jika guru tidak memiliki jaminan kesejahteraan, maka profesi guru bisa jadi akan ditinggalkan. Keenggenan untuk menekuni profesi guru sudah mulai tampak saat ini. Animo masyarakat (baca: generasi muda) untuk menekuni jenjang pendidikan keguruan terlihat sangat kurang. Sebaliknya, peminat jalur pendidikan non-keguruan justru membludak. Salah satu alasan lulusan sekolah menengah tidak memilih jalur pendidikan keguruan ádalah kurangnya jaminan masa depan.  Hasil penelitian Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa salah penyebab rendahnya penguasaan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkannya disebabkan mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya (Soedijarto, 2002). Padahal, James B. Conant merekomendasikan agar mereka yang menjadi guru harus termasuk dalam 20% teratas lulusan sekolah menengah. Profesi guru membutuhkan orang-orang terbaik secara intelektual dan moral. Sosok guru yang ideal dalam pandangan Mohamad Surya (2002) adalah memiliki semangat juang yang tinggi, mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dengan tuntutan dan perkembangan iptek, mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain, memiliki etos kerja yang kuat, memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan karier, berjiwa profesional tinggi, sejahtera lahir dan batin, berwawasan masa depan, dan mampu melaksanakan perannya secara terpadu. Perbaikan nasib guru bukan merupakan tanggung jawab kaum guru semata. Peranan masyarakat dan pemerintah sangat besar untuk membangun citra profesi guru yang dibanggakan.
faktor yang dapat menentukan martabat profesi guru. Pertama, kerja keras guru untuk memberikan nilai yang pantas bagi profesi guru. Profesionalisme dan tanggung jawab yang tinggi yang dilakukan oleh guru akan mengundang simpati masyarakat untuk memberikan apresiasi dan nilai terhadap profesi guru. Citra profesi yang baik diharapkan kelak membawa implikasi bagi kesejahteraan guru. Kedua,  komitmen pemerintah. Peningkatan kesejahteraan guru sangat tergantung dari komitmen pemerintah sebagai pihak yang menggaji guru. Kita menyadari bahwa kondisi negara kita saat ini tidak memungkinkan untuk memberikan gaji tinggi bagi semua pegawai. Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa ada banyak proyek yang sebetulnya tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, ada banyak  pengeluaran negara yang tidak efisien yang hanya menghambur-hamburkan uang negara, dan ada banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kalau eksekutif dan legislatif di daerah dan di pusat memperoleh gaji besar, mengapa guru yang tinggal di daerah terpencil tidak bisa memenuhi kebutuhannya dari gaji yang diperoleh? Bukankah antara mereka sama-sama  melakukan pengabdian untuk bangsa. Guru tidak menuntut mobil dinas mewah seperti para elit pemerintahan tetapi hanya berharap biaya transportasi ke sekolah bisa terpenuhi. Ketiga, memperkuat posisi tawar organisasi profesi guru. Organisasi profesi guru harus memosisikan diri sebagai wadah perjuangan guru. Tanggap dalam menjemput aspirasi dan memperjuangkan kepentingan guru. Payung hukum tentang hal ini pun sudah sangat jelas dalam pasal 41 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.



3. Biaya atau Pendanaan
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen.
Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005.
Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini.
Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009).
Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1. PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dating Site berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri.
Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD, red) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. (mls)
”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI IDONESIA
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain unruk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan, lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan.
Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
1. Pertama , BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak-banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
2. Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
RUU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen. Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya.
30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan.


MENUMBUHKAN JIWA DAN KOMPETENSI
KEWIRAUSAHAAN MELALUI PENDIDIKAN NON FORMAL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliyah : Kewirausahaan
Dosen Pengampu : Drs Nur Hadi.M.M.






Oleh  :
Sugiyono
076050740

 

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PAI
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar