Delik pembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang menjatuhkan
hak asasi manusia oleh karenanya delik
pembunuhan ini diatur dalam KUHP sebagai suatu tindak pidana terhadap nyawa manusia. Begitu
juga dalam hukum Islam, Pengaturan tentang delik pembunuhan ini diatur dalam Al
Qur’an dan dipertegas oleh hadist, Keduanya mengatur tentang jenis delik
pembunuhan, sanksi, serta bagaimana pelaksanaan
hukuman. Meskipun masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, hukum yang
diterapkan adalah hukum peninggalan Belanda, yang pada kenyataanya berbeda sekali dengan hukum Islam. Dalam hukum
positif juga diatur mengenai delik agama, salah satunya Agama Islam yaitu dalam
pasal 156a. KUHP “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun,
barang siapa dengn sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a. yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar
orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ketuhanan Yang Maha
Esa.” Walaupun secara spesifik tidak mengatur tentang delik pembunuhan,
namun disitu membuktikan bahwa hukum positif juga mengakui keberadaan hukum
Islam. Antara hukum positif dan hukum
Islam ada beberapa perbedaan dan persamaan khususnya dalam delik pembunuhan,
baik dari segi pengaturan hukumnya, pengampunan oleh wali korban, dan dari segi
fungsi pidana. Dari segi pengaturan hukumnya delik pembunuhan itu diatur dalam
KUHP yaitu pasal 338 sampai pasal 350 dan pasal 359 “(L.N. 1960-1). Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” sedangkan
dalam hukum Islam sendiri diatur dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178 ”hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishos berkenan dengan
orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, Hamba dengan
hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan
dari saudaranya, maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, Dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu maka
baginya siksa yang sangat pedih” , surat Al Isra’ ayat 31 dan 32, Al Maidah
ayat 45, An Nisa ayat 92 serta hadist Nabi. Sedangkan dari segi pengampunan
yang diberikan oleh wali korban untuk hukum positif sama sekali tidak bisa
menghilangkan pidana hanya meringankan, Beda dengan yang diatur dalam hukum
Islam, bahwasanya pengampunan itu menghapus pidana (qishas). Sedangkan
persamaan dari segi pengampunan yang diberikan oleh wali korban adalah keduanya
melibatkan penguasa dalam pelaksanaan hukuman. Untuk fungsi pidana ternyata
antara hukum positif dan hukum Islam
tidak jauh berbeda yaitu fungsi pidana dalam hukum positif sebagai pembalasan
bertujuan agar si pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut, sedangkan
dalam hukum Islam tujuan tersebut dimasukkan dalam fungsi pencegahan. Selain
itu dalam hukum positif tidak mencantumkan fungsi pidana sebagai suatu
pengajaran, sedangkan dalam hukum Islam fungsi pengajaran bertujuan untuk
memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut tidak disenangi oleh Allah. Adapun
persamaan fungsi pidana antara hukum positif dan hukum Islam, bahwa keduanya
sama-sama setuju fungsi pidana ini bertujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia,
yang dalam hukum Islam menyangkut masalah Maqashid Al-Syari’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar