Senin, 09 Januari 2012

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk - Nya baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk - Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan Pernikahan sendiri. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut :
ياايّها النّاس اتّقوارّبكم الّذي خلقكم من نفس وحدة وخلق منها زوجها وبثّ
منهما رجالا كثيرا ونساء ........ ( النساء : ۱ )

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak……. (Q.S. An – Nisa’ 1)

Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah, menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti juga melakukan ajaran agama “Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan sebagaian (ajaran) agamanya, yang sebagaian lagi, hendaklah Ia bertaqwa kepada Allah” demikian sunnah Qouliyah (sunnah dalam bentuk perkataan ) Rasulullah SAW.
Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan, kawin, hidup berumah tangga karena perkawinan akan memelihara dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah. Bahwa agama Islam menganjurkan bahkan mewajibkan seseorang ( kalau sudah memenuhi illat atau alasannya) untuk segera menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga dari kemaksiatan. Seperti yang dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits :
عن ابن مسعود قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلمّ :يامعشرالشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانّه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يسنطع فعليه بالصّوم فانّه له وجاء. (متفق عليه )
Dari Abdullah bin Mas’ud, “ sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “ wahai kaum muda ! barang siapa yang sudah mampu memberi nafkah, maka nikahlah, karena sesunguhya pernikahan itu dapat menjaga mata dan kehormatan farj. Barang siapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa merupakan benteng baginya”.
Pernikahan merupakan sebuah institusi mulia yang mengikat-erat dua manusia lawan jenis dalam suatu ikatan yang bernama keluarga. Al-Qur’an menyebutkan ikatan tersebut sebagai mitsaqan ghalizhan, perjanjian kokoh yang di ikat dengan sumpah. Pernikahan merupakan pilihan hidup, dan sebagai pilihan hidup bagi setiap orang yang memilihnya, dapat dipastikan mengharapkan kebahagiaan dan keharmonisan terjalin dan terbina di dalamnya. Namun, sebelum membuat ikatan tersebut, kita harus memantapkan diri supaya diri dengan segenap varian persiapan, baik fisik maupun psikologis, atau memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami maupun istri. Agar pernikahan menjadi wahana pelindungan kedamaian dan ketentraman bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kompilasi Hukum Islam menyatakan pernikahan miitsaqan menurut hukum Islam yaitu akad yang sangat kekal atau ghalidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah serta bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal ini sesuai dengan pasal 2 dan 3.
Sedangkan menurut undang-undang perkawinan pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita yang sama aqidah, akhlak dan tujuan, di samping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera.
Dalam pandangan Islam, kehidupan seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang kepada agama yamg sama. Keduanya beragama Islam dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang perkawinan antara wanita Muslimah kawin dengan pria non muslim, baik musyrik maupun ahlul kitab. Dan pria Islam secara pasti dilarang menikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persolan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan antara pria Islam dengan wanita ahlul kitab atau kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 surat Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan seorang muslim dengan kitabiyah dibolehkan. Sebagaian ulama mengharamkanya atas dasar sikap musyrik kitabiyah. Dan banyak sekali Ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Islam melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik dalam pengertian yang luas itu, terutama sekali dimaksudkan agar keselamatan keyakinan agama suami dan anak-anaknya benar-benar terjamin, demikian pula keserasian hidup rumah tangga benar-benar dapat tercapai. Lebih jelas lagi bila ditekankan kepada keselamatan pendidikan agama anak-anak yang bagian terbesar peranannya berada ditangan Ibu. Dapat kita bayangkan betapa sukarnya menanamkan pendidikan agama Islam kepada anak-anak yang ayahnya beragama Islam sedangkan Ibunya non muslim, misalnya yang sama sekali tidak mempunyai titik-titik pertemuan dengan keyakinan Islam.
Membiarkan terjadinya perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik dalam waktu dekat akan berakibat hilangnya eksistensi Islam dalam kehidupan masyarakat. Dimulai dengan hilangya rasa gairah terhadap Islam sebagai agama yang wajib di tegakkan di tengah-tengah kehidupan umat manusia.
Menurut Islam perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan, sedangkan perkawinan antara orang yang berlainan agama dianggap tidak sah menurut islam. Dan untuk menentukan sah tidaknya perkawinan beda agama harus diserahkan sepenuhnya kepada hukum agama.
Orang yang telah melaksanaan perkawinan beda agama maka pelakunya akan menghadapi beberapa resiko baik secara hokum maupun sosial kemasyarakatan, bahkan akan menimbulkan berbagai konflik atau pertentangan dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga, serta akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan pendidikan anak-anak, lebih jika mereka berbeda tanah air, bahasa, kebudayaan, dan tradisi.
Namun demikian orang yang berprilaku tidak perlu ditambah tiadanya hidayah dari Allah, penjelasan perkawinan akibat beda agama tidaklah berarti, maka masih tidak bisa kita fahami bagaimana seorang muslim, apalagi muslimah bisa melakukan ibadah dengan benar dan lurus sementara mereka beda agama.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dianggap relevan dan perlu pengkajian mendalam pada penelitian penulisan ini adalah
1. Bagaimana hukumnya Perkawinan Beda Agama perspektif hukum Islam?
2. Bagaimanakah akibat hukumnya terhadap Perkawinan Beda Agama perspektif hukum Islam ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penulis mempunyai berbagai macam tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus, lebih jelasnya penulis uraikan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui hukum Perkawinan Beda Agama perspektif hukum Islam.
2) Untuk mengetahui akibat hukumnya terhadap Perkawinan Beda Agama perspektif hukum Islam.
1.4. Manfaat Penelitian
dalam penelitian ini bermanfa’at sebagai:
1. Dengan memahami hukum Perkawinan Beda Agama Perspektif hukum Islam, maka diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi yang berkepentingan.
2. Dengan memahami akibat hukumnya terhadap Perkawinan Beda Agama, maka diharapkan dapat membuka motivasi intelektual terhadap pihak-pihak secara langsung maupun tidak langsung, baik untuk penulis maupun bagi si pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar