Senin, 09 Januari 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Problematika pendidikan dibagi 3 (tiga) yaitu kualifikasi guru, kesejahteraan guru, dan biaya atau pendaan.
1. Kualifikasi Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu atau menduduki jabatan tertentu. Jadi kualifikasi mendorong sesorang memiliki suatu keahlian atau kecakapan khusus.
Untuk melihat kualifikasi professional guru dalam kesatuan paket yakni pendidik, pengajar dan pelatih sebagai suatu kesatuan operasional tidak dapat terpecah-pecah. Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan, bahkan kualifikasi terkadang dapat dilihat dari segi derajat lulusannya.
Menurut Anwar Jasin, untuk mengukur kemampuan kualifikasi guru dapat dilihat dari 3 hal:
1.      Memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari diri pendidik  ataupun persyaratan yang harus dimiliki oleh jiwa pendidik antara lain:
a)      Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)      Berwawasan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
c)      Berkepribadian dewasa.
d)     Mandiri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
e)      Penuh rasa tanggung jawab sebagai pendidik.
f)       Berwibawa, mempunyai kelebihan terhadap para siswanya terutama dalam penguasaan materi.
g)      Disiplin.
h)      Berdedikasi.
2.      Memiliki kemampuan umum sehingga pengajar selain sebagai pengajar, seorang guru, memiliki kemampuan dasar mendidik, juga harus memiliki kemampuan sebagai prasyarat untuk mrncapai kemampuan khusus dalam rangka memperoleh kualifikasi dan kewenangan mengajar.
3.      Mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih, kemampuan khusus ini bertujuan untuk melatih para siswanya agar terampil menguasia materi pelajaran.

Dengan demikian, modal kualifikasi kependidikan yang ditawarkan di atas, diharapkan bisa meringankan tugas guru dalam menghadapi masa depan dapat beriman secara tepat dan cermat. Sebab jika tingkat komprtitif guru yang dihadapi dengan kualifikasi pendidikn, maka eksistansi guru akan tetap survive dengan sendirinya. Bahkan prospek masa depannya juga akan semakin baik serta banyak yang akan memburuhkan dan mencarinya.

2. Kesejahteraan Guru
Sudah bukan rahasia umum lagi, jika sebagian dari kalangan pendidik hidup secara pas-pasan. Utamanya guru yang berstatus honores atau guru swasta. Tidak mengherankan jika banyak guru yang mencoba menekuni profesi sampingan. Sejumlah tenaga pendidik utamanya yang tinggal di daerah mencoba melakoni pekerjaan sampingan di luar tugas mengajar. Di Bandar Lampung, seorang guru  nyambi sebagai tukang becak karena gaji yang diterima Rp 126.000 per bulan tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya (Kompas, 9 Mei 2006).  Di sisi lain, guru dituntut untuk tampil ideal dengan bekerja secara profesional  sekaligus menjadi ujung tombak perubahan seiring tuntutan dunia pendidikan yang berjalan sangat cepat. Akibatnya, guru seringkali menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam pengelolaan pendidikan. Kurang profesional dan tidak kompeten merupakan contoh tudingan yang sering kali dialamatkan kepada guru.
Mohamad Surya (2002), Ketua PGRI mengakui imbalan jasa yang diterima oleh guru baik yang bersifat materi maupun nonmateri masih jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru. Meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek materi dan simbol-simbol lahiriah. Sedangkan Andreas Harefa menilai bahwa pemberian kesejahteraan yang tidak manuasiwi bagi guru merupakan tindakan penghinaan yang pada akhirnya akan mengkerdilkan jiwa kalangan pendidik.
Beberapa ekses negatif dapat ditimbulkan dari keterabaian nasib guru. Pertama, dapat berpengaruh terhadap mental dan kinerja guru.  Rendahnya kesejahteraan dapat menimbulkan mental asal kerja. Kegiatan mengajar hanya menjadi rutinitas belaka. Perhatian guru akan tersita pada upaya menutupi permasalahan ekonomi di luar profesi guru. Akibatnya, guru tidak dapat melaksanakan tugas  profesionalnya dengan maksimal.
 Kedua, dapat menimbulkan  image negatif bagi profesi guru. Jika guru tidak memiliki jaminan kesejahteraan, maka profesi guru bisa jadi akan ditinggalkan. Keenggenan untuk menekuni profesi guru sudah mulai tampak saat ini. Animo masyarakat (baca: generasi muda) untuk menekuni jenjang pendidikan keguruan terlihat sangat kurang. Sebaliknya, peminat jalur pendidikan non-keguruan justru membludak. Salah satu alasan lulusan sekolah menengah tidak memilih jalur pendidikan keguruan ádalah kurangnya jaminan masa depan.  Hasil penelitian Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa salah penyebab rendahnya penguasaan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkannya disebabkan mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya (Soedijarto, 2002). Padahal, James B. Conant merekomendasikan agar mereka yang menjadi guru harus termasuk dalam 20% teratas lulusan sekolah menengah. Profesi guru membutuhkan orang-orang terbaik secara intelektual dan moral. Sosok guru yang ideal dalam pandangan Mohamad Surya (2002) adalah memiliki semangat juang yang tinggi, mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dengan tuntutan dan perkembangan iptek, mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain, memiliki etos kerja yang kuat, memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan karier, berjiwa profesional tinggi, sejahtera lahir dan batin, berwawasan masa depan, dan mampu melaksanakan perannya secara terpadu. Perbaikan nasib guru bukan merupakan tanggung jawab kaum guru semata. Peranan masyarakat dan pemerintah sangat besar untuk membangun citra profesi guru yang dibanggakan.
faktor yang dapat menentukan martabat profesi guru. Pertama, kerja keras guru untuk memberikan nilai yang pantas bagi profesi guru. Profesionalisme dan tanggung jawab yang tinggi yang dilakukan oleh guru akan mengundang simpati masyarakat untuk memberikan apresiasi dan nilai terhadap profesi guru. Citra profesi yang baik diharapkan kelak membawa implikasi bagi kesejahteraan guru. Kedua,  komitmen pemerintah. Peningkatan kesejahteraan guru sangat tergantung dari komitmen pemerintah sebagai pihak yang menggaji guru. Kita menyadari bahwa kondisi negara kita saat ini tidak memungkinkan untuk memberikan gaji tinggi bagi semua pegawai. Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa ada banyak proyek yang sebetulnya tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, ada banyak  pengeluaran negara yang tidak efisien yang hanya menghambur-hamburkan uang negara, dan ada banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kalau eksekutif dan legislatif di daerah dan di pusat memperoleh gaji besar, mengapa guru yang tinggal di daerah terpencil tidak bisa memenuhi kebutuhannya dari gaji yang diperoleh? Bukankah antara mereka sama-sama  melakukan pengabdian untuk bangsa. Guru tidak menuntut mobil dinas mewah seperti para elit pemerintahan tetapi hanya berharap biaya transportasi ke sekolah bisa terpenuhi. Ketiga, memperkuat posisi tawar organisasi profesi guru. Organisasi profesi guru harus memosisikan diri sebagai wadah perjuangan guru. Tanggap dalam menjemput aspirasi dan memperjuangkan kepentingan guru. Payung hukum tentang hal ini pun sudah sangat jelas dalam pasal 41 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.



3. Biaya atau Pendanaan
Kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. APBN Tahun Anggaran 2008 telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 9 Oktober 2007 lalu dan menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen.
Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sastrality adalah tidak dibenarkan. hal ini dapat dilihat pada putusan MK No 011/PUU-III/2005, Putusan No. 012/PUU-III/2005, dan Putusan No. 026/PUU-III/2005.
Kenyataan APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. Karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK. Rupanya keputusan slow MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini.
Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009).
Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9% dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
1. PRIORITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Menurut DPR, belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008 menunjukan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dating Site berpendapat anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab, lanjut Heri di saat bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya. “Bahkan anggaran pendidikan lebih kecil dari cicilan hutang Indonesia dan anggaran subsidi,” kata Heri.
Pada APBN 2008. Pembayaran bunga utang disepakati sebesar Rp91,365 triliun. Sementara subsidi disepakati sebesar Rp97,874 triliun. Kenyataannya, perbandingan di lapangan juga demikian, misalnya di Indonesia biaya pendidikan di universitas hanya 1.300 dolar AS per mahasiswa per tahun, sedangkan di Malaysia 12.000 dolar AS per mahasiswa per tahun. Di pendidikan dasar (SD, red) di Indonesia hanya 110 dolar per murid per tahun sedangkan di Malaysia 18.900 dolar Amerika per murid per tahun. (mls)
”Mengapa kita mendahulukan membayar utang? Apakah ada perintah konstitusi? Sekarang ini bayar utang lebih besar dari pada untuk mendidik anak bangsa ini menghadapi masa depannya,” tandas Heri. Menurutnya, yang bisa dihemat adalah dengan mengurangi belanja untuk membayar utang. Kemudian, menambah penerimaan negara, misalnya dari sektor pajak. Pasalnya, pendidikan ini satu-satunya investasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DI IDONESIA
Pemerintah akhirnya mengambil langkah lain unruk menambal biaya pendidikan. BHP adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 2004 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan, lahir sebagai implementasi pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas. Pada ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Didalam tubuhnya berdiri 10 prinsip: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara. Tampaknya cukup meyakinkan.
Menurut RUU BHP, peran yayasan sebagai penyelenggara satuan pendidikan dileburkan dalam sebuah lembaga pengambilan keputusan yang disebut sebagai Majelis Wali Amanat. Peranan yayasan terhadap pengambilan keputusan pun hanya punya hak suara sebanyak 49%. Alasannya, ini untuk menghindari sistem hak veto yang mungkin sudah berjalan selama ini. Sedangkan prinsip nirlaba BHP sesuai dengan yang disampaikan oleh Prof Dr. Jacobson, dinyatakan bahwa berdasarkan pengertian nirlaba terdapat dua kategori badan hukum yang legal menjadi BHP.
1. Pertama , BHP yang didirikan oleh badan hukum nirlaba dengan hak surplus sebanyak-banyaknya 25% dan dapat dibagikan kepada pendiri.
2. Kedua, BHP yang didirikan oleh badan hukum laba dengan hak surplus pendiri sebanyak-banyaknya sebesar 50%. Menurut penuturannya, aturan inilah yang akan menarik banyak minat para pengusaha untuk menyelenggarakan pendidikan, mengingat keuntungan yang dinilai cukup besar. Diharapkan akan muncul dorongan untuk kreatif dalam menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan pun akan semakin besar.
Diramalkan pula, bahwa nanti akan banyak perguruan-perguruan tinggi swasta yang akan tutup karena tidak “kuat” bertahan dan munculnya persaingan yang ketat antara perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Prediksinya untuk masa depan pendidikan di Indonesia, akan sangat ditentukan oleh pasar dan kebutuhan industri. Maka menurutnya akan sangat mungkin, pendidikan di Indonesia akan didominasi oleh beberapa kategori yang unggul menurut kacamata pasar.
RUU BHP diharapkan sebagai salah satu jalan keluar bagi keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pula dengan harapan masyarakat yang ingin punya kesempatan seluas-luasnya untuk bisa akses ke jenjang pendidikan tinggi? Mengenai kemungkinan pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi calon mahasiswa yang cerdas namun berada dalam golongan yang tak mampu, masih diletakkan dalam prioritas yang berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Yang secara struktur, diprediksi bahwa kekuatannya lebih lemah daripada kekuatan hukum RUU BHP yang nantinya akan disahkan kabinet. Berkaitan dengan hal ini, Mansur Ramli menyatakan, “Masalah pendanaan pendidikan memang tidak diatur dalam BHP, tapi itu diatur di dalam pemasalahan yang lain yaitu Rancangan Peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan. Bahwa tanggung jawab pendanaan pendidikan adalah pemerintah.”
Dengan aturan pembagian hak surplus sebesar 25 % dan 50% dalam RUU BHP, cenderung memperlihatkan orientasi penyelengaraan pendidikan Indonesia akan menuju ke arah komersialisasi pendidikan. Keadaan ini bertambah jelas dengan minimnya prioritas pendanaan pendidikan dari pemerintah. Dari jajaran diknas dan legislatif yang hadir sebagai pembicara saat itu, tak ada pernyataan tegas bahwa RUU BHP bisa menjamin Indonesia terhindar dari komersialisasi pendidikan.
3. EFISIENSI DANA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki bahwa tiap tahun terjadi kebocoran anggaran 30 Persen. Sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sejak Lebih dari 20 tahun silam. Bayangkan seperti sebuah tradisi, begitu mengakar dan membudaya.
30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Bahkan, temuan Tim Indonesia Bangkit lebih mencengangkan lagi, yaitu pengajuan anggaran belanja dan modal dari seluruh kementrian dan lembaga sarat dengan penggelembungan 200% hingga 300%. Tim Indonesia Bangkit yang beranggotakan ekonom independen itu meneliti efisiensi anggaran pemerintah. Penelitian dilakukan melalui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) awal yang diajukan kementrian dan lembaga pada kurun waktu 2004 sampai 2006, serta difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur dan belanja barang. Hasilnya terdapat perbedaan mencolok antara harga pasar dan anggaran yang diajukan.


MENUMBUHKAN JIWA DAN KOMPETENSI
KEWIRAUSAHAAN MELALUI PENDIDIKAN NON FORMAL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliyah : Kewirausahaan
Dosen Pengampu : Drs Nur Hadi.M.M.






Oleh  :
Sugiyono
076050740

 

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PAI
2010

TATA CARA PENDIRIAN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH


I.                   Pendahuluan
Lembaga keuangan syariah merupakan  badan hukum yang bergerak dibidang jasa keuangan  sebagai perantara yang menghubungkan pihak pemilik  dana dengan pihak yang kekurangan dan membutuhkan dana dengan oprasionalnya secara syariah. Dengan demian, lembaga keuangan syariah berperan sebagai peranata pemilik modal. Posisi lembaga keungan syariah merupakan bentuk implementasi system islam.
Ekonomi islam bertujuan mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan tidak mengabaikan keseimbangan makro ekonomi,keseimbangan ekologi dan tetap memperhatikan nilai-nilai keluarga dan norma-norma. (ahmad supriyadi S.Ag., M.Hum,2008:2)
Etika-etika pokok tersebut adalah pertama, keberadaan tuntunan Allah sebagai pusat control setiap kegiatan ekonomi. Islam memandang bahwa informasi yang dimiliki manusia sangatlah terbatas.
Sistem lembaga keuangan syari’ah mempunyai cirri-ciri yang berbeda dengan bank konvensional yaitu tidak menggunakan prinsip bunga. System keuangan islam yang bebas dari prinsip bunga diharapkan mampu nenjadi alternative terbaik dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perbankan sebagai lembaga keuangan utama dalam system keuangan dewasa ini tidak hanya berperan sebagai lembaga peranata keuangan, namun juga sebagai industry penyedia jasa dan instrument kebijakan moneter yang utama.
Adapun peran perbankan yang masih ada (ahmad supriyadi S.Ag., M.Hum,2008:3) yaitu : pertama memberikan pelayanan akses terhadap system pembayaran, fungsi ini meliputi valuta dan fungsi penyediaan jasa pembayaran. Kedua, melakukan transformasi kekayaan dalam tiga aspek yaitu transformasi preferensi, dimana bank mampu memilihkan ukuran unit yang sesuai dengan keinganan nasabah. Transformasi yang kedua transformasi kualitas, dimana bank mampu menawarkan karakter keuntumgan berisiko lebih baik dari pada investasi langsung. Transformasi yang ketiga yaitu jangka waktu, dimana bank menyediakan surat berharga dengan jangka waktu lebih pendek. Ketiga, fungsi bank dalam mengelola resiko. Dalam hal ini bank mendapatkan keuntungan atas jasa mengelola resiko yang dilimpahkan oleh nasabah. Keempat, fungsi bank dalam memonitor dan memproses informasi.
Berdirinya lembaga keuangan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Negara dalam perundang-undangan.
Lembaga keuangan ada yang berbentuk koprasi disebut Baitul Maal Wattamwil (BMT) dan ada yang berbentuk Bank Pengkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS).
Dengan adanya bentuk-bentuk lembaga keuangan seperti BMT dan BPRS bagaimana  tata cara mendirikannya? Dengan adanya rumusan masalah tersebut pemakalah akan mencoba menguraikan tentang tata cara mendirikan
II.                Pembahasan
A.    Baitul Maal Wattamwil (BMT)
Baitul Maal Wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit seperi zakat, infak, dan shodaqoh. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersil. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syari’ah.(Heri Sudarsono,2004:96)
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan system syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup-ilmu pengetahuan ataupun materi- maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat
1.      Tata Cara Mendirikan BMT
a.       Modal mendirikan BMT
BMT dapat didirikan dengan modal awal sebesar Rp 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah ) atau lebih. Namun demikian, jika terdapat kesulitan dalam mengumpulkan modal awal, dapat dimulai dengan modal Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) bahkan Rp 5000.000,- (Lima juta Rupiah). Modal awal ini dapat berawal dari satu atau beberapa tokoh masyarakat setempat, yayasan, kas masjid atau Baziz setempat namun sejak awal anggota pendiri BMT harus terdiri antara 20 samapai 44 orang. Jumlah batasan 20 sampai 44 anggota pendiri, ini diperlukan agar BMT menjadi milik masyarakat setempat.(Ahmad Supriyadi, S.Ag., M.Hum.,2008:90)
b.      Badan Hukum BMT
BMT dapat didirikan dalam bentuk kelompok swadaya masyarakat atau koprasi.
1). KSM adalah kelompok swadaya masyarakat dengan mendapatkan surat keterangan oprasional dan PINBUK(pusat inkubasi bisnis usaha kecil).
2). Koprasi serba usaha atau koprasi syari’ah.
3). Koprasi simpan pinjam syari’ah (KSP-S).(Heri Sudarsono,2004:105 )

c.       Tahap Pendirian BMT Syari’ah
Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam pendirian BMT adalah sebagai berikut :
a.       Pemprakarsa dan pendamping menyiapkan diri (meluangkan waktu, pemikiran dan semangat) untuk menjadi monivator pendirian BMT. Pemrakarsa dan pendamping terlebih dahulu membaca bahan buku ini dengan sebaik-baiknya, sehingga diharapkan lebih teliti dan lebih memahami isi dan falsafah (visi, misi, tujuan,usaha dll)yang berada dibelakang BMT.
b.      Setelah ide ini berkembang dan direspon oleh 4-5 orang aktivis/motivator. Maka carilah dukungan tambahan yang lebih besar misalnya dari tokoh masyarakat seperti imam masjid, atau ulama yang paling disegani disekitar wilayah itu, dan dari pejabat yang dituakan seperti pak guru, pak camat atau pak lurah. Kunjungilah secara bersama-sama Tim motivator untuk meyakinkan beliau-beliau itu pada visi, misi, tujuan, usaha, cara kerja dan ide pendirian BMT ini.
c.       Dengn restu dari tokoh  paling berpengaruh itu, maka undanglah para sahabat yang telah didaftarkan tadi 5-10 orang untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai BMT ini dan tindakan lebih lanjutnya. Sasaran pertemuan ini adalah membentuk sebuah tim atau panitia penyiapan pendirian BMT (P3B) yang ramping, misalnya 5 orqang yang benar-benar punya waktu, bersemangat, paling aktif, berprakarsa, bersedia serta mau bekerja menggelindingkan kegiatan selanjutnya.

P3B dapat terdiri dari ketua dan wakil ketua,sekretaris dan wakil sekretaris, dan bendahara. Perlu sekali memilih bendahara seorang tokoh yang benar-benar dipercayai oleh masyarakat , belum pernah tercatat pengalaman tercela untuk kepentingan umum sehingga orang tidak ragu-ragu menyerahkan (sementara) dana untuk modal BMT ini. Jika diperlukan dapat menunjukkan dan meminta kesediaan penasehat tim yang terdiri dari tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam masyarakat itu.
Tugas P3B adalah sebagai berikut :
Ø  Memperluas dukungan
Ø  Mengumpulkan modal awal
Ø  Menggalang dana
Ø  Pertemuan dan komitmen
Ø  Rapat pembentukan
d.      Rapat pendiri untuk memilih pengurus BMT. Ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota bila perlu upayakan pengurus dari orang yang maniliki pengaruh , mamiliki dasar kemampuan mencari dukungan, diterima oleh masyarakat banyak. Khusus untuk bendahara perlu ditunjuk tokoh yang benar-benar mendapat kepercayaan dari masyarakat dan belum pernah tercatat pengalaman hal-hal yang tercela dalam sejarah.
e.       Pengurus yang terpilih segera mencari calon pengelola BMT  yaitu lulusan S1 atau D3 yang selain berkemampuan intelektual memadai, juga kuat landasan iman dan akhlaknya, jujur, amanah dan aktif, sabar, memiliki potensi untuk bekerjasama, mampu bekerja purna waktu (sepenuh waktu dan hati). Selain itu, bertempat tinggal di sekitar lokasi BMT akan lebih baik.
f.       Tenaga ini dilatih dan dimagangkan oleh PINBUK setempat selama 2 minggu sehingga menjadi tenaga pengelola professional BMT. Tenaga ini perlu dan disetujui oleh para pengurus serta tunduk pada kebijakan/kekuasaan pengurus.
g.      Pengurus bersama pengelola melaksanakan persiapan-persiapan sarana kantor dan ATK (alat tulis kantor) serta form/berkas administrasi yang diperlukan  swbagaimana yang distandarisasikan oleh PINBUK.
h.                BMT siap beroprasi.
i.                  Pengurus bekerjasama pengelola BMT membuat naskah kerjasama kemitraan dengan PINBUK setempat dan memproses sertifikat BMT dari PINBUK kabupaten/kota, atau PINBUK propinsi atau PINBUK pusat.
j.                  Jika BMT tersebut  telah mencapai kekayaan /asset Rp. 75 juta, maka pengelola BMT segera memohon badan hukum koprasi jasa keuangan syari’ah  (KJKS) kepada dinas koprasi dan UKM setempat. (Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis, 2006:16)

2.      Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah
a.       Pengertian
Menurut UU Perbankan No.7 Tahun1992, adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu yang menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan No.10 Tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah.[1]
Pengertian  BPR Syari’ah ialah BPR biasa yang operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam.

a.                  Ketentuan dan Tata Cara Pendirian BPR Syari’ah
Bank Pengkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) di Indonesia sebagai salah satu jenis dari BPR yang telah ada juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi BPR lain pada umumnya kecuali ketentuan yang berkenaan dengan tingkat suku bunga. Ketentuan –ketentuan yang berlaku bagi BPR itu adalah sebagai berikut :

1.                Pendirian
Dalam mendirikan BPRS harus mengacu pada bentuk hukum Bank Pengkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS)yang telah ditentukan oleh undang-undang perbankan. Sebagaimana dalam UU perbankan No. 10 1998 pasal 2, bentuk hukum atau Bank Pengkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dapat berupa:

1). Perseroan terbatas.
2). Koprasi atau
3). Perusahaan daerah.   

Dalam mendirikan BPR-BPR Syari’ah ada beberapa hal yang harus dipenuhi diantaranya:
a) Persyaratan umum.

1. BPR yang dapat melakukan usaha bank yaitu: BPR yang telah memperoleh izin usaha dari menteri keuangan RI dan mendengar pertimbangan bank Indonesia.
2. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh PEMDA, Koperasi dan Warga NegaraIndonesia.
3. Bentuk badan hukum BPR, Perusahaan Daerah, Koperasi dan Perseroan Terbatas.
4. Tempat kedudukan BPR di kecamatan diluar ibukota negara, ibukota Dati I dan DatiII
5. Wilayah pelayanan mencakup desa-desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPR.
6. Usaha BPR meliputi pengerahan dana melalui jasa-jasa tabungan dan deposito berjangka dan memberikan kredit bagi pengusaha kecil di pedesaan.
7. Modal disetor minimal Rp. 50 juta dan bagi koperasi modal tersebut berasal dari simpanan spokok dan simpanan wajib.
8. Penamaan pada aktiva tetap tidak boleh melebihi 50% dari modal sendiri.
9. Mayoritas Direksi harus berpengalaman dalam operasional Bank minimal 1 tahun.

b) Permohonan izin prinsip.
1. BPR berbentuk perseroan terbatas.
- Siapkan minimal 2 nama yang akan dipakai BPR dan selanjutnya mintakan persetujuan ke-Departemen kehakiman.
- Siapkan modal disetor minimal Rp. 15 juta atau 30% dari total modal disetor.
2. BPR tidak berbentuk perseroan terbatas.
- Menyesuaikan diri dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen terkait.
3. Permohonan izin prinsip
 Contoh Pengajuan permohonan tertulis yang dialamatkan:
Kepada Yth.
MENTERI KEUANGAN RI
Up.: Direktur Lembaga Keuangan & Akuntansi
Direktorat Jenderal Moneter
Jl. DR Wahidin 1, Gedung A-Lantai VIII
Jakarta 10710

Dalam permohonan tersebut harus disertakan kelengkapan sebagai berikut:
- Rencana akte Pendirian dan Anggaran Dasar BPR.
- Daftar calon direksi, Dewan komisaris dan Pengawas Syariah.
- Rencana kerja BPR ditahun Pertama
c) Persyaratan Permohonan izin usaha.
1. Persyaratan Izin Usaha
- Mengaktekan dan membuat anggaran dasar BPR
- Dapatkan NPWP
- Mengesahkan Badan Hukum BPR ke Departemen Kehakiman (Biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan )
- Merekrut tenaga kerja dengan jumlah sesuai kebutuhan dan melatihnya untuk menjadikan siap kerja
- Mempersiapkan kantor dengan peralatan yang layak untuk kegiatan bank, kantor dan kepemilikannya harus dinyatakan dengan jelas, seperti hak sewa, hak pakai, HGB, Hak milik dan lain-lain
- Menyusun system dan prosedur tata kerja BPR serta mempersiapkan warkat-warkat yang akan digunakan dalam operasional BPR
- Menyetor sisa modal disetor, yaitu 70 % atau Rp. 35 juta seperti pada pengajuan izin prinsip
2. Permohonan izin usaha
Contoh pengajukan permohonan Izin Usaha dan diajukan:\


Kepada Yth.
MENTERI KEUANGAN RI
Up.: Direktur Lembaga Keuangan & Akuntansi
Direktorat Jenderal Moneter
Jl. DR Wahidin 1, Gedung A-Lantai VIII
Jakarta 10710

Dalam permohonan tersebut harus disertakan kelengkapan sebagai berikut:
1. Foto copy bukti setoran sebesar Rp. 35 juta pada rekening Mentri Keuangan QQ PT. BPR XYZ pada Bank pemerintah, yan merupakan 70 % dari modal disetor minimum dan telah dilegalisir oleh Bank Pemerintah yang bersangkutan
2. Copy anggaran dasar BPR yang telah disahkan Mentri Kehakiman RI
3. Mengirimkan data pengurus BPR (direksi, komisaris dan pengawas Syariah) apabila terjadi perubahan dan data-data karyawan yang telah dilatih
4. Menyampaikan system dan prosedur tata kerja BPR (manual) disertai specimen warkat yang akan digunakan
5. Foto copy NPWP BPR
6. Foto copy Situasi situasi dan kondisi perkantoran dan peralatan BPR sehingga dapat menunjukkan tingkat operasional BPR
d) Persiapan pra oprasional.
e) Laporan pembukaan.

III.             Kesimpulan
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan system syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup-ilmu pengetahuan ataupun materi- maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

BPR Syari’ah adalah Bank pengkreditan rakyat yang operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah islam. BPR Islam didirikan sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia.
Tujuan didirikannya BPR adalah untuk :
§   Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
§   Meningkatkan pendapatan perkapita
§   Menambah lapangan kerja terutama dikecamatan-kecamatan
§   Membina semangat ukhwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi
Secara garis besar produk BPR Islam Adalah :
o   Mobilisasi dana masyarakat
o   Peenyaluran dana
o   Jasa perbankan


[1] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hal 83